Kamis, 28 Juni 2012

Lucky Man Behind The Mask

Melewati tiga kali kesempatan untuk menulis disini sebenarnya kusengaja. Bukan karena malas, tapi karena aku memang belum lagi memiliki cerita untuk kubagikan. Ya, setelah Java Man, kisah romansaku belum beranjak kepada siapapun. Aku benar-benar berusaha untuk fokus pada hidupku. Jika memang Tuhan izinkan pasanganku datang, pasti dia akan datang pada waktu yang tepat. Klise! Hahaha, aku belum mau mencarinya saja Tuhan. Tapi ada yang ingin kutulis disini mengenai penglihatanku di Trans Jakarta tanggal 26 Juni 2012 lalu. Mengapa tidak kutulis hari itu? Kelelahan saudara-saudara! Hahaha. Macet, padat, merayap, itulah yang selalu terjadi di Jakarta pagi dan sore hari, yang pastinya harus dihadapi. Tak akan ada habis-habisnya jika harus membicarakan Jakarta. Mari kembali pada peristiwa yang kualami diantara keberuntunganku hari itu. Hari itu aku sedang pergi ke Klinik Backup (klinik khusus tulang) di Central Park, Grogol. Aku ditemani oleh Riris. Kami berangkat sekitar jam tiga sore dari rumahku. Kami menggunakan kendaraan umum untuk kesana dan Trans Jakarta termasuk salah satunya.
Saat itu jam setengah delapan malam, waktu dimana kami keluar dari Central Park. Kami sengaja keluar malam untuk menghindari macet dan kepadatan orang-orang yang sedang pulang bekerja. Tapi ternyata saudara-saudara, meskipun sudah berusaha tetap saja laju kepadatan para pekerja Jakarta tidak dapat dihindari dengan mudah. Trans Jakarta yang kami naiki penuh tapi untung tidak menyesakkan. Kami masih dapat berdiri dengan lapang. Dari awal masuk bis, ada yang menarik mataku untuk melihat sekelebat sosok yang masuk bersamaan dengan kami. Ya, seorang lelaki dibalik masker di wajahnya. Awalnya kupikir itu hanya karena faktor bentuk wajah yang indah dibalik masker. Tapi saat keberuntungan membawaku pada kursi kosong, aku kembali dapat memperhatikan dia pada posisi yang pas. Mungkin aku terlalu penasaran, hingga membuat dia risih. Dia terlihat salah tingkah dan kepanasan karena mengetahui pandangan mataku mengarah padanya. Bagaimana aku dapat melepaskan pandangan itu saat kulihat postur, aksesoris, dan bentuk wajahnya mirip dengan Lucky. Yeah, dia lagi dia lagi, hahaha. Boleh ya Tuhan (wink-wink).
Rambutnya tipis lurus dan beberapa bagian menutupi dahi. Bentuk wajah yang bulat namun memiliki garis rahang dengan hidung mancung. Tubuh yang terlihat atletis dengan otot-otot kencang terbentuk di lengan tangannya. Dan gelang berbahan karet warna hitam yang melekat di tangan kirinya, seperti Lucky yang selalu memakai gelang seperti itu. Seksama kuperhatikan lelaki itu. Aku penasaran hingga berencana ingin menanyakan langsung. Tapi apa daya, Riris yang berada dihadapanku tidak mau bergantian untuk menduduki kursiku. Jadi kuurungkan saja niatku itu. Aku kembali bertanya apa benar itu dia? Ada yang ganjil. Rambutnya sejak kapan berwarna hitam? Lalu, kemeja, celana bahan, dan sepatu resmi? Dan telepon selular yang dia gunakan untuk mendengarkan musik? Aku jadi ragu. Itu bukanlah Lucky. Dan aku semakin yakin saat melihat dengan jelas kedua matanya. Mereka terbuka lebar dan berwarna coklat tua. Dan itu bukanlah Lucky. Lucky yang kuingat, berambut coklat gelap sepertiku, mata yang sipit, dan lebih tinggi dari lelaki itu. Telepon genggam yang aku yakin digunakan Lucky saat ini adalah Blackberry. Lucky juga bukan tipe pecinta angkutan umum. Lalu siapa dia?
Sesaat sebelum mencapai halte tujuan akhir yakni Pinang Ranti, dia turun. Setelah sebelumnya dia melepaskan maskernya dan memperlihatkan bagian kiri wajahnya. Ya, itu bukan Lucky. Entah mengapa aku merasa lega itu bukan dia. Karena jika kutahu itu dia, entah apa aku mampu menyapanya setelah sekian lama. Tapi lelaki dengan masker itu sepertinya kukenal. Dia lebih mirip teman SMAku yang terkenal cukup tampan hingga membuat seorang kakak kelas yang kembar menyukainya. Jefferson namanya. Nama dan fisik seimbang indahnya hehehe. Setelah dia turun, aku terlarut dalam pikiranku sendiri. Apakah dengan Riris aku memang akan bertemu Lucky lagi? Ini kali kedua aku mendapati diriku berharap melihat sosok pemilik nama beruntung itu saat berjalan bersama Riris. Hahaha ada-ada saja kamu. Sampai di rumahku, kami pun menyantap makan malam meskipun sudah terlambat. Aku menjadi sedih mengetahui kebenaran bahwa aku masih merindukan "Lucky Irene" dalam hidupku. Apa benar ini kehendak Tuhan atau hanya egoku semata? Kalau benar ini kehendak Tuhan aku sangat bersyukur dan berterima kasih. Tapi jika tidak, aku pun sangat bersyukur dan berterima kasih karena Tuhan mengajariku menghadapi egoku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar