Jumat, 14 September 2012

Lucky Fingers

Setelah kuselesaikan konsep pembicaraanku itu, aku pikir aku tinggal mempersiapkan mental untuk mengatakannya, tanpa harus merasakan kehadirannya lagi dalam mimpiku. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Selang beberapa hari setelah aku membuat konsep pembicaraan itu, minggu lalu, di saat aku benar-benar sedang merasakan kesedihan, penyesalan dalam hidupku, di satu malam aku bermimpi lagi dengan dia ada di sana. Mimpi keenam.
Matahari masih menyinari bumi, tapi aku tidak mampu bersinar seperti matahari hari itu. Aku merasakan kesedihan mendalam sampai-sampai seorang temanku menemaniku pulang. Aku tidak ingat darimana aku saat itu. Sepertinya aku baru menghadiri pertemuan rohani. Bersama-sama aku dan temanku itu naik angkutan umum carry berwarna merah. Kami duduk di bangku panjang bermuatan enam orang, tepat di tengah-tengah. Kuingat, temanku itu berusaha menghiburku, menguatkanku. Dia seorang perempuan, duduk di sebelah kiriku, berkacamata, bermuka bulat, berisi badannya, lucu parasnya. Tapi aku duduk sedikit memunggunginya, menatap lurus, sesekali tertunduk. Angkutan umum ini berjalan pelan, sampai aku dapat melihat dengan jelas bahwa di depan ada Lucky yang sedang bertanya kepada seorang lelaki yang sepertinya mengenalku, salah satu temanku, mengenai diriku. Entah mengapa aku seperti mengerti arah pembicaraan mereka. Lucky bertanya kepada lelaki di sebelah kirinya itu, yang penampilannya kurang lebih sama seperti teman perempuanku ini, tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku. Lelaki itu menjawab bahwa dia tidak tahu mengapa, tapi yang jelas, dia seperti mengatakan bahwa aku butuh kekuatan.
Kemudian Lucky menanyakan keberadaanku dimana kepada lelaki itu. Dia pun menjawab, tadi melihatku telah naik angkutan umum bersama temanku. Di saat bersamaan, angkutan umum yang kami naiki pelan-pelan mencapai mereka, bahkan akan melewati mereka. Jika tidak segera lelaki itu menyuruh Lucky untuk segera naik, maka angkutan umum yang kami naiki akan benar-benar melewati mereka. Lucky yang naik tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut, langsung duduk di bangku tempel berkapasitas dua orang dekat pintu keluar. Karena di sebelah kananku ada dua sosok yang lain. Aku berusaha memalingkan wajahku apalagi mataku dari melihatnya. Aku tidak ingin menunjukkan kesedihanku didepannya. Tapi aku tetap ingin melihatnya. Ada yang berbeda dengannya. Pakaiannya kemeja kotak-kotak, bercelana bahan, dan sepertinya membawa payung panjang. Semakin aku berusaha tidak menyadari kehadirannya, semakin dia memperhatikanku. Hingga akhirnya kusadari, ada aliran energi lembut dari tangan kananku saat supir mengerem mendadak. Setelah kulihat, ada jari-jari seseorang disana. Kutelusuri pemiliknya, yang ternyata Lucky, dan saat kutatap matanya, dia jadi salah tingkah, melepaskannya.
Tiba giliranku yang terguncang dengan pengereman mendadak, aku seperti bingung mau menopang tanganku dimana. Awalnya hendak meletakkan di tangan Lucky, tapi urung karena seperti disengaja. Akhirnya aku memegang bangku didepanku. Lucky seperti kecewa, tapi paham. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Kami menaiki angkutan umum itu, entah sampai dimana, aku tidak ingat, karena dalam sekejap aku kehilangan jejaknya. Meskipun belum sempat mengatakan apapun, terbangun dengan kehangatan yang masih terasa di punggung tanganku itu, sudah menjadi bentuk kebahagiaanku utnuk bersyukur dan tersenyum kembali. Tuhan, Engkau begitu baik. Engkau hadir dalam sosok dia yang kurindu. Aku yakin itu Engkau. Aku yakin pula Engkau yang meletakkan keyakinan rasaku padanya dalam hatiku. Engkau yang selalu setia menghiburku. Terima kasih Tuhan.

Rabu, 12 September 2012

Lucky Hope

Setelah sekian lama bersemedi dalam keheningan semesta, menelaah apa arti dan pentingnya tanggung jawab, aku kembali ke tanah perjanjian ini. Dalam ruangan penuh buku dan manusia peneliti kasus aku menulis lanjutan kisahku. Tanggal 30 Agustus 2012 lalu, aku sempat terhanyut dalam khayalan dan memori bersama dia. Awalnya aku hanya berimajinasi mengenai bagaimana bentuk seminar hubungan yang akan kudatangi bersama Neng Cit dan kawan-kawannya tanggal 15 September nanti. Apakah seperti ajang pencarian jodoh atau sejenisnya. Dan tak lama kemudian, aku jadi terhenyak dengan kemungkinan, apakah Lucky akan hadir? Karena acara itu ditujukan untuk semua muda-mudi Kristiani dari gereja manapun. Lalu, apa yang akan kulakukan jika memang benar dia akan datang? Dapatkah aku berkomunikasi selayaknya teman biasa? Atau hanya kembali terdiam seperti yang kami lakukan dulu? Karena kuakui saat ini aku mulai kembali merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang selain keluarga dan sahabat-sahabatku. Begitu banyak pertanyaan muncul di benakku. Sampai akhirnya dalam keheningan (mengantuk pula) terciptalah konsep pembicaraan yang ingin kukatakan padanya. Pembicaraan ini mungkin akan terjadi jika kami sama-sama terkejut untuk kemudian terdiam.
Lama tak berjumpa. Apa kabar Ky? Dia pun akan menjawab bahwa dia baik-baik saja. Saat dia menanyakan kabarku, akupun akan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Dan saat kami kembali terdiam aku akan memulai pembicaraan. Anyway, aku dengar kamu sudah lulus ya? Selamat ya. Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Dia pun akan menjawabnya (kuharap) dengan menjelaskan cita-cita dan tempat harapannya tertuju. Kemudian dia akan menanyakan hal yang sama kepadaku. Akupun akan jujur mengatakan bahwa aku masih dalam proses meraih kelulusanku. Jika beruntung, dia akan menanyakan alasan mengapa aku sangat tertinggal dan akupun akan menjawab sejujurnya mengenai kehidupan yang baru kupahami. Namun, jika aku tidak beruntung karena dia tidak ingin tahu alasannya, akupun hanya dapat terdiam dan mencoba langsung berbicara serius. Aku akan memulainya dengan sebuah pengakuan. Aku bersyukur Ky kita bisa bertemu lagi. Aku sudah menunggu kesempatan ini dari dulu karena aku mau menyampaikan sesuatu. Aku harap kamu mau mendengarnya.
Kamu boleh percaya atau tidak, setiap kali aku melihat orang-orang, selain keluargaku, aku seperti dapat menangkap energi yang dominan keluar dari orang tersebut. Energi yang dapat berupa sifat. Maka dari itu, aku sering mengacuhkan banyak orang. Dengan begitu aku berharap tidak terhisap oleh energi-energi yang mereka keluarkan. Karena aku juga tidak ingin menyakiti mereka dengan berpura-pura nyaman di dekat mereka, saat yang kulihat dari mereka, sebenarnya membuatku tidak nyaman. Tapi penglihatanku tidak selalu benar. Adakalanya orang-orang menyembunyikan atau mengurangi energinya. Lagipula siapa aku yang berhak menilai seseorang? Hehehe. Namun, semuanya berubah saat yang kulihat itu kamu. Energi yang dominan kamu keluarkan adalah energi yang sangat kusukai, yakni ketulusan. Dan seumur hidupku, baru kamu yang mampu menghadirkannya di mataku, yang membuat mataku tidak pernah lepas melihatmu. Semakin sering melihatmu, semakin tinggi pula harapanku untuk merasakan bahkan untuk memiliki ketulusan yang kamu punya. Itulah mengapa, dulu, aku berusaha mendekati kamu bahkan sampai menyukai kamu. Maafkan aku ya Ky. Maafkan aku yang mencintaimu dengan cara yang salah. Setelah mengatakan ini, jika dia hanya diam, aku akan pergi menenangkan emosiku. Lalu aku akan kembali dan mengucapkan, terima kasih ya Ky. Bertemu denganmu membuatku mengenal hidup.
Harapanku, setelah percakapan itu, dia dapat mulai menanyakan mengapa dulu, setiap aku bertemu dengannya, aku tidak menyapa, padahal kami berkirim pesan dan bertelepon. Aku pun akan menjawab, karena aku paham obsesiku untuk memiliki ketulusanmu adalah salah. Jadi diantara celah obsesi itu, ada rasa bersalah yang semakin besar yang membuatku tidak dapat berkomunikasi baik denganmu dan juga membuatku kehilangan aku. Tapi, obsesiku masih sangat dominan saat itu, yang mampu membuka tirai malu yang seharusnya ada. Aku benar-benar dibutakan oleh ego diriku. Syukur kepada Tuhan, Dia dengan sungguh ingin melatihku membuang obsesiku itu. Bertahun-tahun kita tidak bertemu, padahal jarak perumahan kita hanya sekitar satu kilometer. Hidupku pun dimasuki dengan berbagai macam orang dimana akupun banyak belajar dari mereka. Tuhan mau aku membuka pikiranku, menerima kekalahanku, dan mensyukuri berkat penglihatan yang Dia beri, yang sampai sekarang masih menjadi pembelajaran bagi diriku. Lalu, bagaimana denganmu Ky? Bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya mengenaiku dulu? Basi memang, tapi aku masih ingin tahu yang sesungguhnya dari kamu. Ya, itupun kalau kamu tidak keberatan hehehe. Jika dia menjawabnya dengan jujur, aku sangat beruntung. Namun jika tidak, tidak apa-apa. Tuhan yang sungguh baik yang akan membukanya.

Sabtu, 01 September 2012

Lucky Graduation

Telah kutinggalkan romansaku di sini selama dua bulan. Sebenarnya bukan karena tidak ada yang terjadi, tapi justru karena ada yang terjadi. Aku sengaja meninggalkan kegiatan menulisku di sini sementara. Tujuanku ingin benar-benar fokus menata prioritasku sekarang. Tapi bukannya bergerak maju, yang ada malah ketidakseimbangan. Tidak akan kujelaskan di sini karena ini bukan tempatnya hehehe. Saat melewati bulan Juli tanpa ada kabar apapun dari dia, aku merasakan keseimbangan. Aku hanya mencoba peruntungan menjadi pegawai pemerintahan di akhir bulan itu. Namun, apa daya, 09 Agustus 2012, pengumuman keluar dan administrasiku ada yang cacat, yang membuatku tidak lolos tahap selanjutnya. Bukan hanya kabar ketidaklolosanku saja yang menjadi kejutan, tapi juga kabar kelulusan dari dia, yang masih terpatri di jiwa ini, enam hari sebelumnya.
Dalam ingatanku, bunga tidur itu terjadi sebelum kulihat foto kelulusannya. Seperti kelanjutan dari mimpiku yang lalu tentang dia. Setelah mimpiku yang terakhir tentang dia bersama keluargaku, kelanjutannya ada dalam dua mimpi. Mimpi keempat. Aku tersadar berada di sebuah sekolah, di kelas yang ramai. Sepertinya aku menjadi murid putih abu-abu. Aku melihat beberapa teman-teman sekelasku di sana. Tapi kenapa ada Neng Cit? Aku tidak satu sekolah dengannya. Saat itu ada tugas. Kulihat ketika aku mengerjakannya, aku membuat kesalahan. Aku membutuhkan tip-ex untuk memperbaikinya, tapi aku tidak dapat menemukannya. Aku mencari ke seluruh bangku dan tiba-tiba kulihat tip-ex milikku di tangan seorang lelaki yang sedang memakainya. Lelaki yang ternyata adalah Lucky. Sempat terdiam sesaat, pikiranku penuh tanda tanya besar, mengapa dia ada di kelas yang sama denganku? Tapi aku kembali tersadar dengan tip-ex yang kucari. Dengan ketus kuminta tip-ex itu. Tip-ex yang berwarna biru atau abu-abu ya? Samar dalam ingatanku. Lalu dengan sikap acuh tak acuh sambil mengunyah permen karet, dia pun mengembalikannya.
Mimpi kelima. Peristiwa dalam mimpi ini benar-benar sangat berbanding terbalik dengan mimpi sebelumnya. Mimpi ini terasa begitu nyata dan dewasa (weits, bukan yang berhubungan dengan reproduksi ya, hehehe). Lucky dan aku. Hanya kami berdua sedang duduk santai sambil berbincang-bincang. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam percakapan kami di mimpi-mimpi sebelumnya, dalam mimpi ini kami begitu banyak bercerita, begitu terbuka, dan santai. Dia pun tidak merasa enggan untuk bersentuhan kecil denganku. Terasa hangat, seperti sahabat. Dia dengan gaya bicara dan sikapnya yang dewasa, berhasil memunculkan sisi feminin dalam diriku saat itu. Terdengar tawa kami, antusias kami, harapan kami di sana. Suasana yang begitu sejuk, hijau, membuat kami sangat merasa nyaman satu sama lain. Dan ketika kuterbangun, kebahagiaanku berlimpah ruah. Wow, betapa beruntungnya aku. Tidak berselang lama, esok harinya, kulihat ternyata dia memang sedang bahagia di dunia nyata. Tapi bukan karena aku, melainkan karena kelulusan sidang sarjananya. Lalu, seperti biasa, aku menceritakannya kepada Neng Cit sebelum dan sesudah kutahu kabar kelulusannya. Untuk sesaat aku terpacu dengan kesedihan bahwa pada kenyataannya, aku tertinggal. Aku harus lulus!
Semua mimpi itu terjadi menjelang pagi. Jika ingatanku tidak salah, aku pernah membaca sebuah buku, bahwa mimpi menjelang pagi ini dapat datang dari kehendak Tuhan. Benar atau tidaknya, aku tetap bersyukur kepada Tuhan. Ia sungguh baik, sungguh mendengar, dan sungguh membawa keselamatan. Hari yang baru diawali dengan mimpi yang indah. Betapa hebatnya Engkau, Allah di surga!