Sabtu, 27 Oktober 2012

Lapisan Itu Tipis

Lelaki berseragam itu masih punya cerita hehehe. Semenjak kejadian tanggal lima itu, keesokkan harinya saat aku bertemu mata dengan dia, aku jadi salah tingkah. Aku sedang memasak, pintu dan jendela kamarku kubuka demi menjaga keamanan. Lalu sedang sibuknya memasak aku berdiri menatap keluar bersamaan dengan dia yang hendak masuk ke dalam kamar. Aku tertegun, tidak tersenyum atau apapun. Dia pun sepertinya begitu (tidak begitu jelas karena tidak memakai kacamata). Lalu, setelah beberapa detik tertahan langsung saja aku duduk memasak lagi. Apa yang tadi kulakukan? Wow! Jadi deg-degan hahaha. Aku pun tidak berusaha memahaminya. Lalu saatnya aku membersihkan lantai, saat itu juga dia kembali lagi masuk kekamar. Dia menyapaku dengan mengucapkan Pagi dengan senyuman yang menurutku menggoda, hahaha. Aku pun hanya menjawab hei. Wow! Memang rasa itu suatu keajaiban tak terlukiskan. Ya, yang membuatku harus belajar mengendalkannya sampai sekarang. Sejak itu ketika bertemu lagi pun kami akan saling menebar senyum. Senyum dia seakan tenang, lebar, terbuka, begitupun aku. Tapi bagiku dalam hati seperti sedang pesta pora, gaduhnya bukan main, hahahahaha.
Senin, 08 Oktober 2012, aku kembali ke kosku tercinta. Wah sudah ditambah tercinta, ada apa ya? Ada penyemangat! Hahaha. Aku pun dengan rutinitasku mencuci sprei. Saat selesai menjemur, aku terkaget dengan keberadaan dia yang tiba-tiba keluar kamar, aku pun yang sedang memakai royal jelly hanya bisa tersenyum lalu jalan tertunduk. Malulah diri ini, dengan wajah yang mengkilat melihat kearahnya. Hari itu aku memang berencana ke Bandung, berdiskusi dengan Atma, kekasih Giegie, yang merupakan mahasiswa pemburu gelar master. Karena hari itu sudah siang, aku pun hanya dapat menitipkan jemuranku pada Teteh yang berada di kamar bawah. Satu-satunya orang dan perempuan yang aku kenal disitu. Aku pun pergi ke Bandung. Cerita dan diskusi bergulir antara aku dan Atma. Tak terasa sudah mendung dan hujan mulai turun lagi. Aku pun bergegas balik, begitu juga dengan Atma. Aku pun mulai memakai jas hujan. Untuk yang kedua ini aku merasa bodoh karena ternyata hujan itu hanya turun sebentar, sementara aku malas melepas jas hujan lagi. Alhasil sampai di Jatinangor, aku masih mengenakan jas hujan ketika membeli martabak telur. Awalnya untuk laukku tapi akan kuberikan ke Teteh jika memang jemuranku diangkat olehnya.
Sampai di kos aku melihat Teteh ada, lalu beranjak ke atas, aku sangat tertegun. Sprei, sarung-sarung bantal sudah terlipat sangat rapi di atas meja depan kamar beralaskan koran. Otomatis aku berasumsi bahwa Teteh yang telah melakukannya. Tanpa pikir panjang, aku pun mengetuk kamar Teteh. Setelah menyatakan terima kasih dan menyerahkan martabak telur itu, aku kemudian terkejut dengan pernyataan Teteh yang menyatakan bukan dialah yang mengangkat jemuranku. Sepertinya salah seorang yang ada di kamar atas. Wow! Aku pun menduga-duga, siapakah dia? Pikiranku langsung tertuju pada tetangga yang manis. Pastilah dia. Ya, malam itu aku berniat langsung menanyakan dan berterima kasih jika itu benar. Namun, malam semakin larut, aku pun lapar. Keluar memebeli cap cay dan nasi. Aku baru ingat, aku belum makan dari siang tadi. Ketika aku menyantap, dia tiba dengan temannya. Aku segan menanyakan hal itu saat ada temannya. Jadi aku berniat selesai makan dan mandi saja. 
Tapi, rencana Tuhan memang jauh melampaui kekuatanku sebagai manusia. Perutku sakit. Magku kambuh. Aku ingin datang kekamarnya tapi sepengetahuanku lelaki sehat dan terlatih seperti mereka pasti tidak memiliki penyakit ini. Lalu kuputuskan untuk datang ke Teteh meminta obat. Teteh tidak memilikinya, jadi dia mengantarku ke warung Pak Penjaga Kos untuk membeli obat. Perutku semakin melilit saat itu. Aku pun berusaha tenang. Teteh pun akhirnya meninggalkanku kembali ke kamarnya. Namun, apa daya, perutku bertambah sakit, aku sampai tidak mampu bicara. Aku pun meminta tolong kepada Mon atau Yos untuk membelikan mylanta lewat Blackberry Messenger. Lama tak kunjung dibalas. Saat itu kurang lebih sudah jam setengah 11 malam. Aku segan untuk mengetuk pintu dia di kamar 12 berbeda 2 kamar denganku di kamar 14. Sudah larut. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu hingga jam 11 malam. Jika memang saudara-saudara sepupuku tidak ada yang memberi kabar aku pun akan mengetuk kamar dia. Tuhan memang baik sekali, pukul 10:40 WIB, Mon membalas pesan singkatku dan menyatakan bersedia datang. Akhirnya aku dapat bernapas lega, menunggu dia datang. Dia begitu prihatin melihatku dan tidak akan pergi sebelum aku meminum obat yang dibawanya.
Pagi datang, aku memang sudah terbangun dari jam setengah 3 dini hari, lalu tertidur dan terbangun saat terang. Teteh datang mengunjungiku sekitar jam 6 pagi, aku masih meringkuk, tapi sudah tidak merasakan sakit yang begitu hebat seperti semalam. Aku pun menceritakan tentang kelanjutan semalam. Teteh terkaget dan kemudian dia menanyakan aku akan sarapan apa. Aku pun menjawab tidak tahu. Lalu Teteh memberikanku sarapan. Aku pun menyantapnya, bubur bayi rasa susu pisang. Ya, bubur, salah satu makanan yang paling tidak kusukai. Masih terasa sakit perutku ini ditambah sedikit demam, jadi aku membiarkan pintu tetap terbuka merasakan udara pagi. Ada harapan saat kusakit aku ingin dia datang melihat keadaanku. Aku ingin dia paling tidak menanyakan kabarku. Hahaha manjanya ya. Tapi meskipun kudengar pintu terbuka, dia tidak melangkah kekamarku. Seharian itu aku hanya tidur, tergeletak, menyiapkan bubur sendiri, sampai setelah aku berkeringat sekitar siang  menjelang sore. Ada suatu waktu aku keluar mengambil jemuran. Aku berharap dia keluar. Tapi harapan hanya harapan. Aku pun mandi dan kemudian aku merasa sangat segar dan sehat. Aku mendengar dia pun mandi. Aku pun yang merasa sehat mulai bernyanyi-nyanyi. Yey! Kupikir aku sudah dapat tersenyum lagi kepadanya, menikmati sapaannya di hari yang cerah.

Lelaki Berseragam Itu

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa tempat kosku akan dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa dari sekolah tinggi pemerintahan dalam negeri yang berlokasi di daerah itu juga. Baru kusadari hal itu terjadi saat aku memutuskan untuk memulai kembali kehidupan studiku. Kamar-kamar yang mengelilingiku seakan-akan penuh keberadaan mereka yang kebanyakan para lelaki. Mereka menggunakan logat Papua saat berbicara. Jadi sudah terbayangkan olehku bahwa mereka berasal dari sana. Beberapa kali aku memang melewati mereka, jika harus keluar kamar atau saat akan berangkat. Hanya mengangguk atau tersenyum kecil itulah yang kulakukan. Bukan tanpa sebab aku bersikap tidak seramah biasanya terhadap orang baru, namun karena sedari dulu aku memulai studiku di tempat ini aku sudah banyak mendengar banyak hal mengenai kehidupan kampus dan sekitarnya, termasuk mahasiswa-mahasiswa sekolah tinggi tersebut. Bahkan pandanganku, kurang lebih menjadi negatif sejak mereka memiliki kasus kekerasan yang mencuat ke permukaan.
Dari cerita yang kudengar, mereka tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan masyarakat umum. Mereka pun selalu pergi berkelompok sesuai dengan asal daerah masing-masing. Itu terlihat dari logat atau bahasa daerah yang kerap mereka gunakan untuk berkomunikasi. Tapi ada yang menjadi pertanyaanku karena ternyata ada beberapa teman kosku dulu yang berpacaran dengan mereka. Jadi memang dari dahulu aku memilih jalan aman yakni, menjauhi atau bahkan berusaha tidak berkomunikasi dengan mereka. Untuk yang membaca ini, aku sarankan janganlah mncontoh perbuatanku itu. Menghakimi tanpa mengenal terlebih dahulu adalah hal yang patut dihindari seumur hidup manusia. Hal ini terbawa sampai kepada mereka yang ada ditempat kosku. Warga Papua terkenal dengan suara kerasnya saat berkomunikasi. Untukku sejujurnya tidak ada masalah, karena orang tuaku pun memiliki volume yang sama besarnya. Malah Ibuku sepertinya senang dengan kehadiran mereka hahahaha. Ada-ada saja Mamake ini. Namun, ada suatu pagi dimana sesuatu yang biasa itu menjadi luar biasa hahahahaha.
Hari itu pagi menjelang siang, seingatku aku baru pulang berbelanja dari pasar yang cukup dekat jaraknya dari tempat kosku. Belanjaanku lumayan banyak, jadi malu juga bawa lama-lama. Jadi kupercepat langkahku saat itu. Saat menaiki tangga kos, aku sempat terkaget melihat ada seseorang duduk di teras sendirian asyik dengan telepon selulernya. Karena terburu-buru aku pun hanya tersenyum kecil seperti biasanya. Ada beberapa detik dimana aku dapat melihat jelas wajahnya. Dan apa yang membuatku jadi tersenyum tertawa setelah itu. Tuhan, dia manis sekali! Hahaha. Haaah godaan apalagi ini. Seketika itu juga aku menepis rasa senang itu, meskipun tidak dapat menghilangkannya dalam sekejap. Aku beranggapan itu tidak penting karena sebentar lagi aku akan pindah. Ya, pertengahan Oktober lalu aku berencana pindah ke kos putri demi kenyamanan, karena memang ada kamar kosong di tempat kos yang aku inginkan itu. Jadi aku anggap itu hanya pemandangan saja hehehe.
Sampai di hari Minggu akhir September yang cerah itu aku dikejutkan oleh langkah seseorang menuju kamarku. Kuintip sedikit dari gorden yang tersibak. Hah? Betapa terkejutnya aku melihat dia (kusebut tetangga yang manis) yang melangkah mendekat. Parahnya, saat itu aku sedang memilih baju untuk dikenakan. Jadi aku meminta dia untuk menunggu. Saat pintu dibuka, aku yang memang tidak memiliki perasaan apa-apa tidak memiliki ekspresi yang sumringah. Dia hanya meminjam setrika. Aku pun tidak kuasa menolak, padahal saat itu posisiku akan segera berangkat. Sempat terbesit dipikiranku untuk memintanya menjaga setrika itu sampai aku kembali. Namun urung kulakukan karena aku pun belum sarapan saat itu. Sembari menunggu dia mengembalikan, aku menikmati sarapanku. Saat dia mengembalikan dengan senyum, aku merasa biasa saja, senyum sekadarnya, malah aku sempat menanyakan keberadaan keset kaki depan kamarku yang entah siapa pemiliknya. Dia pun menyatakan tidak tahu menahu, berlalu sambil melihat ke bawah.
Hingga ada suatu kejadian yang tidak terduga, yang kulakukan tanggal 5 Oktober lalu. Saat itu aku yang berkeliaran di Bandung menggunakan motor (sebenarnya tersesat karena sudah lama sekali tidak ke Bandung, hahaha) menghadapi derasnya hujan dalam perjalanan. Kupikir hari itu memang kurang menyenangkan karena motor yang baru dicicil ini, baru diservis dan dicuci harus terkena lagi lumpur jalanan akibat hujan. Ya, mau diapakan lagi, aku hanya dapat menikmatinya hahaha. Sepertinya awan mendung mengikuti perjalananku, alhasil sampai kos pun aku tetap basah kuyup (meskipun pakai jas hujan, hehe). Lalu tiba-tiba hujan berhenti saat aku memarkir motor. Dia pun lewat. Tanpa sadar senyumku mengembang dan bertanya dengan ramahnya dia hendak kemana. Dia pun dengan ramahnya menjawab akan mencari makan. Sesaat setelah itu aku tertegun dengan keberanian yang baru saja kulakukan. Senyumku sangat lebar, wow! Aku menjadi kikuk sendiri tapi kemudian pikiranku mengingat kinclongnya motorku tadi siang. Aku pun langsung bergegas meminjam gayung Teteh untuk mengambil air dan membersihkan sekedarnya. Hatiku merasa senang sekaligus malu. Entahlah, aku berusaha menahan senyumku dengan membersihkan motor. Hingga dia kembali, dia tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang dijawabnya sendiri. Mau pergi lagi? Oh motornya lagi dilap. Aku pun hanya mengeluarkan dua kata, iya;hujan, tanpa melihat ke arahnya.
Aksi yang unik mendapatkan reaksi yang menarik. Apalah aku ini berkata-kata hahahaha. Tapi inilah permulaan lapisan tipis yang seharusnya kujaga agar tidak pecah sebelum waktunya. Kok? Apa hubungannya? Hahaha. Pokoke terima kasih banyak Tuhanku, Engkau memberikan penyemangat baru, penggugah hati menjadi lebih hidup.

Jumat, 26 Oktober 2012

Saat Kukendalikan

30 September 2012. Pagi menjelang siang, sekitar pukul sepuluh pagi, dalam perjalananku yang hampir mencapai rumah. Aku menerima telepon yang sungguh mengejutkanku. Giegie membawa kabar bahwa ayah Mr. T meninggal. Ya Mr. T yang sudah setahun lebih, sepertinya tidak kutemui. Aku pun sontak terkaget mendengar kabar itu. Tapi yang membuatku jadi lebih berpikir adalah saat Giegie menyarankan aku untuk menghubungi Mr.T karena Mr. T sedang dalam perasaan bersalah karena belum dapat memajang foto wisudanya bersama sang ayah. Lama aku berpikir dalam perjalanan. Sembari menyebarkan berita ini ke seluruh angkatan ataupun komunitas yang mengenal Mr. T. Apa tidak lebih baik aku datang langsung? Tapi bagaimana dengan Novena Ekaristi yang sudah menjadi janjiku untuk menggenapinya? Hari semakin siang saat aku sampai ke rumah Abang. Aku bergumul dalam hati, jika memang Tuhan mengizinkan, Tuhan pasti akan menambahkan keinginanku untuk berangkat dengan mendatangkan informasi tercepat dari Giegie dan kawanua yang akan datang langsung. Masalahnya posisiku dan posisi Giegie jauh, itulah yang membuatku ragu. Tak habis pikir akupun menghubungi kawanua Mr. T di Jakarta. Apakah mereka akan datang atau tidak? Alhasil saling menunggu terjadilah di hari itu yang membuatku memutuskan untuk datang  Tuhan.
Setelah memutuskan untuk memilih aku pun mengabarkan kepada Giegie bahwa aku tidak dapat pergi menyusul mereka. Aku pun berkata mungkin akan pergi esok harinya bersama Natnat, setelah aku menanyakannya langsung. Hari itu juga aku menghubungi Egyptian, salah satu teman dekat Mr. T, menanyakan hal yang sama. Egyptian pun menyatakan ketidakpastian mengenai hal tersebut. Akhirnya akupun memutuskan bagaimana jadinya esok hari. Lalu keesokan harinya aku pun janji temu dengan Natnat. Hari sudah sangat siang saat kami bertemu. Dia mengatakan bahwa kemarin dia sudah mengirimkan pesan setelah mencoba meneleponnya namun tidak diangkat. Jadi, dia tetap memutuskan untuk tidak pergi melayat. Aku yang sudah menduganya, tapi yang mengherankan aku menyangkal diriku sendiri untuk sedih mendengarnya. Aku pun mengatakan hal yang sama kepada Natnat bahwa tidak jadi masalah jika aku tidak berangkatpun. Lalu kami sempat berbincang mengenai Mr. T. Natnat kembali lagi menanyakan hal yang sama, kabar Mr. T kepadaku. Aku tidak punya perubahan jawaban. Masih sama seperti dulu, aku sudah tidak berkomunikasi sejak terakhir aku bercerita dengan Natnat. Dia pun heran dan bertanya mengapa. Jawabannya ada di bawah hehehe.
Selesai bertemu Natnat akupun langsung mengemasi bawaanku, balik kekos. Sedihku belum hilang namun aku harus menelepon Mr. T. Aku pun meneleponnya. Saat mengucapkan rasa bela sungkawaku, aku meminta maaf karena tidak dapat datang, aku menjelaskannya seperti yang kutulis pada bagian pertama tulisan ini. Satu hal yang sangat mengherankanku, hanya sesaat setelah aku mengatakn tidak dapat datang, dalam sekejap Mr. T menceritakan seluruh informasi mengenai apa yang terjadi saat Giegie dan kawan-kawan kemarin datang, lalu bagaimana mereka berinteraksi dengan Mama Mr. T, dan saat Mr. T mengatakan bahwa jika sempat silahkan datang karena masih ada acara hingga besok. Aku sebenarnya kelagapan untuk menjawab karena niatku memang hanya untuk menyampaikan turut berduka sekaligus meminta maaf karena aku tidak dapat hadir. Aku teringat dengan perkataan Giegie mengenai perihal rasa bersalah Mr. T, aku pun menanyakan keadaannya, mencoba mengulangnya berkali-kali, namun tetap saja hanya jawaban diplomatis (menurutku ini adalah jawaban yang dikeluarkan karena dianggap sesuai dengan apa yang ingin didengar oleh kebanyakan orang). Mr. T mengatakan dia baik-baik saja, dia senang sudah sempat mengalam kebersamaan dengan ayahnya. Well, apa lagi yang harus kukatakan, aku pun hanya menegaskan sekali lagi bahwa aku tidak dapat datang, tapi teman-teman dia termasuk Egyptian pasti akan datang dari Jakarta. Mr. T pun terdengar sedih (benar begitu? Hahaha), karena sampai saat terakhir dia hanya mengatakan tidak apa-apa jika tidak datang dan meminta untuk mendoakan ayahnya, yang disebutnya dalam telepon sebagai "Papa". Satu kata yang aneh untuk disebutkan hanya kepada seorang teman biasa.
Siapa teman biasa itu? Aku maksudnya, hehe. Mengapa aneh? Karena, mendengar dia bercerita tentang dirinya secara langsung dan jujur saja tidak pernah apalagi mendengar cerita tentang keluarganya. Ya, aku baru paham. Itulah penyebab utama mengapa aku menjauh dari Mr. T. Awalnya aku tidak mengerti, mengapa rasa tidak nyaman ini datang, mengapa aku menjauhkan diriku dari Mr. T. Anggap saja tubuhku dan pikiranku dikuasai sesuatu, yang kupercaya Tuhan Yesus Kristus, hehehe. Aku paham mengapa aku tidak nyaman, itu semua karena aku memutuskan untuk menyudahi sikap terbukaku kepada Mr. T. Ini bukan tanpa sebab, selama kami dekat, aku banyak bercerita, terbuka dengan jujur mengenai apa yang terjadi dalam hidupku dimana Mr. T pun ada untukku. Namun, Mr. T sendiri tidak melakukan hal yang sama. Dia tidak pernah terbuka, dia malah berbohong. Dia tidak bercerita tentang apapun di hidupnya. Dan paling penting, dia tidak memberikanku peluang untuk ada untuknya. Kuakui dulu peluang itu ada, tapi maaf, aku terlanjur sakit hati setelah kebohongan yang dia buat. Itu salahku, aku memang yang menutup diri dengan latar yang logis. Tapi apakah masih harus bersikap diplomatis disaat aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam saat mendengar suaranya di ujung telepon itu? Haruskah dia sebegitu tertutupnya denganku? Apakah aku harus mengemis-ngemis cerita hidupnya, perasaannya untuk dikatakan kepadaku? BIG NO!
Setelah kututup telepon, sempat ada rasa bersalah datang. Sempat ada suara mengatakan bahwa aku bukanlah teman yang baik. Lalu aku pun menghubungi Neng Cit, menghubungi Neng Green, untuk menanyakan apakah keputusanku salah? Rasa bersalah itu bercampur deg-degan yang tidak menentu. Awalnya kupikir karena aku masih menaruh rasa kepadanya, ternyata itu hanya kelemahanku saja karena tergoda oleh suaranya yang membujukku datang. Lucu, Neng-Neng itu menanyakan hal yang sama, apa kamu memiliki hubungan spesial dengan dia? Kujawab tidak. Lalu untuk apa kamu bertanya-tanya kebenaran dari keputusanmu? Iya ya, benar juga hahaha. Aku pun merasa sangat senang saat menyadari itu, menyadari bahwa aku dapat mengendalikan diriku yang sempat gelagapan, bingung untuk menjawab bujukan Mr. T, dengan nada yang tetap tegas namun ringan. Satu kemenangan besar! Hahaha. Sekarang aku berpikir, apakah ada baiknya aku berziarah ke makam ayah Mr. T? Mungkin saja setelah aku bertemu langsung dengan Mr. T. Bukan pertemuan biasa, namun pertemuan yang mengizinkan aku untuk mengampuni diriku dan sesama.
PS. Hei Papa, meskipun aku belum pernah bertemu denganmu, aku yakin Papa adalah orang yang sangat baik dan bertanggung jawab. Papa pasti dapat tempat terbaik dari Tuhan disana. Terima kasih Papa telah membesarkan dan mendidik Mr. T dengan baik. Sampai bertemu nanti ya Papa.