Jumat, 26 Oktober 2012

Saat Kukendalikan

30 September 2012. Pagi menjelang siang, sekitar pukul sepuluh pagi, dalam perjalananku yang hampir mencapai rumah. Aku menerima telepon yang sungguh mengejutkanku. Giegie membawa kabar bahwa ayah Mr. T meninggal. Ya Mr. T yang sudah setahun lebih, sepertinya tidak kutemui. Aku pun sontak terkaget mendengar kabar itu. Tapi yang membuatku jadi lebih berpikir adalah saat Giegie menyarankan aku untuk menghubungi Mr.T karena Mr. T sedang dalam perasaan bersalah karena belum dapat memajang foto wisudanya bersama sang ayah. Lama aku berpikir dalam perjalanan. Sembari menyebarkan berita ini ke seluruh angkatan ataupun komunitas yang mengenal Mr. T. Apa tidak lebih baik aku datang langsung? Tapi bagaimana dengan Novena Ekaristi yang sudah menjadi janjiku untuk menggenapinya? Hari semakin siang saat aku sampai ke rumah Abang. Aku bergumul dalam hati, jika memang Tuhan mengizinkan, Tuhan pasti akan menambahkan keinginanku untuk berangkat dengan mendatangkan informasi tercepat dari Giegie dan kawanua yang akan datang langsung. Masalahnya posisiku dan posisi Giegie jauh, itulah yang membuatku ragu. Tak habis pikir akupun menghubungi kawanua Mr. T di Jakarta. Apakah mereka akan datang atau tidak? Alhasil saling menunggu terjadilah di hari itu yang membuatku memutuskan untuk datang  Tuhan.
Setelah memutuskan untuk memilih aku pun mengabarkan kepada Giegie bahwa aku tidak dapat pergi menyusul mereka. Aku pun berkata mungkin akan pergi esok harinya bersama Natnat, setelah aku menanyakannya langsung. Hari itu juga aku menghubungi Egyptian, salah satu teman dekat Mr. T, menanyakan hal yang sama. Egyptian pun menyatakan ketidakpastian mengenai hal tersebut. Akhirnya akupun memutuskan bagaimana jadinya esok hari. Lalu keesokan harinya aku pun janji temu dengan Natnat. Hari sudah sangat siang saat kami bertemu. Dia mengatakan bahwa kemarin dia sudah mengirimkan pesan setelah mencoba meneleponnya namun tidak diangkat. Jadi, dia tetap memutuskan untuk tidak pergi melayat. Aku yang sudah menduganya, tapi yang mengherankan aku menyangkal diriku sendiri untuk sedih mendengarnya. Aku pun mengatakan hal yang sama kepada Natnat bahwa tidak jadi masalah jika aku tidak berangkatpun. Lalu kami sempat berbincang mengenai Mr. T. Natnat kembali lagi menanyakan hal yang sama, kabar Mr. T kepadaku. Aku tidak punya perubahan jawaban. Masih sama seperti dulu, aku sudah tidak berkomunikasi sejak terakhir aku bercerita dengan Natnat. Dia pun heran dan bertanya mengapa. Jawabannya ada di bawah hehehe.
Selesai bertemu Natnat akupun langsung mengemasi bawaanku, balik kekos. Sedihku belum hilang namun aku harus menelepon Mr. T. Aku pun meneleponnya. Saat mengucapkan rasa bela sungkawaku, aku meminta maaf karena tidak dapat datang, aku menjelaskannya seperti yang kutulis pada bagian pertama tulisan ini. Satu hal yang sangat mengherankanku, hanya sesaat setelah aku mengatakn tidak dapat datang, dalam sekejap Mr. T menceritakan seluruh informasi mengenai apa yang terjadi saat Giegie dan kawan-kawan kemarin datang, lalu bagaimana mereka berinteraksi dengan Mama Mr. T, dan saat Mr. T mengatakan bahwa jika sempat silahkan datang karena masih ada acara hingga besok. Aku sebenarnya kelagapan untuk menjawab karena niatku memang hanya untuk menyampaikan turut berduka sekaligus meminta maaf karena aku tidak dapat hadir. Aku teringat dengan perkataan Giegie mengenai perihal rasa bersalah Mr. T, aku pun menanyakan keadaannya, mencoba mengulangnya berkali-kali, namun tetap saja hanya jawaban diplomatis (menurutku ini adalah jawaban yang dikeluarkan karena dianggap sesuai dengan apa yang ingin didengar oleh kebanyakan orang). Mr. T mengatakan dia baik-baik saja, dia senang sudah sempat mengalam kebersamaan dengan ayahnya. Well, apa lagi yang harus kukatakan, aku pun hanya menegaskan sekali lagi bahwa aku tidak dapat datang, tapi teman-teman dia termasuk Egyptian pasti akan datang dari Jakarta. Mr. T pun terdengar sedih (benar begitu? Hahaha), karena sampai saat terakhir dia hanya mengatakan tidak apa-apa jika tidak datang dan meminta untuk mendoakan ayahnya, yang disebutnya dalam telepon sebagai "Papa". Satu kata yang aneh untuk disebutkan hanya kepada seorang teman biasa.
Siapa teman biasa itu? Aku maksudnya, hehe. Mengapa aneh? Karena, mendengar dia bercerita tentang dirinya secara langsung dan jujur saja tidak pernah apalagi mendengar cerita tentang keluarganya. Ya, aku baru paham. Itulah penyebab utama mengapa aku menjauh dari Mr. T. Awalnya aku tidak mengerti, mengapa rasa tidak nyaman ini datang, mengapa aku menjauhkan diriku dari Mr. T. Anggap saja tubuhku dan pikiranku dikuasai sesuatu, yang kupercaya Tuhan Yesus Kristus, hehehe. Aku paham mengapa aku tidak nyaman, itu semua karena aku memutuskan untuk menyudahi sikap terbukaku kepada Mr. T. Ini bukan tanpa sebab, selama kami dekat, aku banyak bercerita, terbuka dengan jujur mengenai apa yang terjadi dalam hidupku dimana Mr. T pun ada untukku. Namun, Mr. T sendiri tidak melakukan hal yang sama. Dia tidak pernah terbuka, dia malah berbohong. Dia tidak bercerita tentang apapun di hidupnya. Dan paling penting, dia tidak memberikanku peluang untuk ada untuknya. Kuakui dulu peluang itu ada, tapi maaf, aku terlanjur sakit hati setelah kebohongan yang dia buat. Itu salahku, aku memang yang menutup diri dengan latar yang logis. Tapi apakah masih harus bersikap diplomatis disaat aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam saat mendengar suaranya di ujung telepon itu? Haruskah dia sebegitu tertutupnya denganku? Apakah aku harus mengemis-ngemis cerita hidupnya, perasaannya untuk dikatakan kepadaku? BIG NO!
Setelah kututup telepon, sempat ada rasa bersalah datang. Sempat ada suara mengatakan bahwa aku bukanlah teman yang baik. Lalu aku pun menghubungi Neng Cit, menghubungi Neng Green, untuk menanyakan apakah keputusanku salah? Rasa bersalah itu bercampur deg-degan yang tidak menentu. Awalnya kupikir karena aku masih menaruh rasa kepadanya, ternyata itu hanya kelemahanku saja karena tergoda oleh suaranya yang membujukku datang. Lucu, Neng-Neng itu menanyakan hal yang sama, apa kamu memiliki hubungan spesial dengan dia? Kujawab tidak. Lalu untuk apa kamu bertanya-tanya kebenaran dari keputusanmu? Iya ya, benar juga hahaha. Aku pun merasa sangat senang saat menyadari itu, menyadari bahwa aku dapat mengendalikan diriku yang sempat gelagapan, bingung untuk menjawab bujukan Mr. T, dengan nada yang tetap tegas namun ringan. Satu kemenangan besar! Hahaha. Sekarang aku berpikir, apakah ada baiknya aku berziarah ke makam ayah Mr. T? Mungkin saja setelah aku bertemu langsung dengan Mr. T. Bukan pertemuan biasa, namun pertemuan yang mengizinkan aku untuk mengampuni diriku dan sesama.
PS. Hei Papa, meskipun aku belum pernah bertemu denganmu, aku yakin Papa adalah orang yang sangat baik dan bertanggung jawab. Papa pasti dapat tempat terbaik dari Tuhan disana. Terima kasih Papa telah membesarkan dan mendidik Mr. T dengan baik. Sampai bertemu nanti ya Papa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar