Rabu, 12 September 2012

Lucky Hope

Setelah sekian lama bersemedi dalam keheningan semesta, menelaah apa arti dan pentingnya tanggung jawab, aku kembali ke tanah perjanjian ini. Dalam ruangan penuh buku dan manusia peneliti kasus aku menulis lanjutan kisahku. Tanggal 30 Agustus 2012 lalu, aku sempat terhanyut dalam khayalan dan memori bersama dia. Awalnya aku hanya berimajinasi mengenai bagaimana bentuk seminar hubungan yang akan kudatangi bersama Neng Cit dan kawan-kawannya tanggal 15 September nanti. Apakah seperti ajang pencarian jodoh atau sejenisnya. Dan tak lama kemudian, aku jadi terhenyak dengan kemungkinan, apakah Lucky akan hadir? Karena acara itu ditujukan untuk semua muda-mudi Kristiani dari gereja manapun. Lalu, apa yang akan kulakukan jika memang benar dia akan datang? Dapatkah aku berkomunikasi selayaknya teman biasa? Atau hanya kembali terdiam seperti yang kami lakukan dulu? Karena kuakui saat ini aku mulai kembali merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang selain keluarga dan sahabat-sahabatku. Begitu banyak pertanyaan muncul di benakku. Sampai akhirnya dalam keheningan (mengantuk pula) terciptalah konsep pembicaraan yang ingin kukatakan padanya. Pembicaraan ini mungkin akan terjadi jika kami sama-sama terkejut untuk kemudian terdiam.
Lama tak berjumpa. Apa kabar Ky? Dia pun akan menjawab bahwa dia baik-baik saja. Saat dia menanyakan kabarku, akupun akan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Dan saat kami kembali terdiam aku akan memulai pembicaraan. Anyway, aku dengar kamu sudah lulus ya? Selamat ya. Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Dia pun akan menjawabnya (kuharap) dengan menjelaskan cita-cita dan tempat harapannya tertuju. Kemudian dia akan menanyakan hal yang sama kepadaku. Akupun akan jujur mengatakan bahwa aku masih dalam proses meraih kelulusanku. Jika beruntung, dia akan menanyakan alasan mengapa aku sangat tertinggal dan akupun akan menjawab sejujurnya mengenai kehidupan yang baru kupahami. Namun, jika aku tidak beruntung karena dia tidak ingin tahu alasannya, akupun hanya dapat terdiam dan mencoba langsung berbicara serius. Aku akan memulainya dengan sebuah pengakuan. Aku bersyukur Ky kita bisa bertemu lagi. Aku sudah menunggu kesempatan ini dari dulu karena aku mau menyampaikan sesuatu. Aku harap kamu mau mendengarnya.
Kamu boleh percaya atau tidak, setiap kali aku melihat orang-orang, selain keluargaku, aku seperti dapat menangkap energi yang dominan keluar dari orang tersebut. Energi yang dapat berupa sifat. Maka dari itu, aku sering mengacuhkan banyak orang. Dengan begitu aku berharap tidak terhisap oleh energi-energi yang mereka keluarkan. Karena aku juga tidak ingin menyakiti mereka dengan berpura-pura nyaman di dekat mereka, saat yang kulihat dari mereka, sebenarnya membuatku tidak nyaman. Tapi penglihatanku tidak selalu benar. Adakalanya orang-orang menyembunyikan atau mengurangi energinya. Lagipula siapa aku yang berhak menilai seseorang? Hehehe. Namun, semuanya berubah saat yang kulihat itu kamu. Energi yang dominan kamu keluarkan adalah energi yang sangat kusukai, yakni ketulusan. Dan seumur hidupku, baru kamu yang mampu menghadirkannya di mataku, yang membuat mataku tidak pernah lepas melihatmu. Semakin sering melihatmu, semakin tinggi pula harapanku untuk merasakan bahkan untuk memiliki ketulusan yang kamu punya. Itulah mengapa, dulu, aku berusaha mendekati kamu bahkan sampai menyukai kamu. Maafkan aku ya Ky. Maafkan aku yang mencintaimu dengan cara yang salah. Setelah mengatakan ini, jika dia hanya diam, aku akan pergi menenangkan emosiku. Lalu aku akan kembali dan mengucapkan, terima kasih ya Ky. Bertemu denganmu membuatku mengenal hidup.
Harapanku, setelah percakapan itu, dia dapat mulai menanyakan mengapa dulu, setiap aku bertemu dengannya, aku tidak menyapa, padahal kami berkirim pesan dan bertelepon. Aku pun akan menjawab, karena aku paham obsesiku untuk memiliki ketulusanmu adalah salah. Jadi diantara celah obsesi itu, ada rasa bersalah yang semakin besar yang membuatku tidak dapat berkomunikasi baik denganmu dan juga membuatku kehilangan aku. Tapi, obsesiku masih sangat dominan saat itu, yang mampu membuka tirai malu yang seharusnya ada. Aku benar-benar dibutakan oleh ego diriku. Syukur kepada Tuhan, Dia dengan sungguh ingin melatihku membuang obsesiku itu. Bertahun-tahun kita tidak bertemu, padahal jarak perumahan kita hanya sekitar satu kilometer. Hidupku pun dimasuki dengan berbagai macam orang dimana akupun banyak belajar dari mereka. Tuhan mau aku membuka pikiranku, menerima kekalahanku, dan mensyukuri berkat penglihatan yang Dia beri, yang sampai sekarang masih menjadi pembelajaran bagi diriku. Lalu, bagaimana denganmu Ky? Bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya mengenaiku dulu? Basi memang, tapi aku masih ingin tahu yang sesungguhnya dari kamu. Ya, itupun kalau kamu tidak keberatan hehehe. Jika dia menjawabnya dengan jujur, aku sangat beruntung. Namun jika tidak, tidak apa-apa. Tuhan yang sungguh baik yang akan membukanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar