Selasa, 09 November 2010

Saat Ku Diberi Kesempatan

Tahun ini, 2010, adalah tahun yang penuh tantangan dan cobaan bagi saya. Dari awal tahun, dimana saya dan keluarga di rumah melakukan rutinitas kumpul keluarga, tahun ini di puncak, saya mendapat doa baru. Doa agar sekiranya saya dapat menemukan pangeran impian saya. Hahaha geli campur senang mendengarnya. Malu juga memang sudah mulai di mata-matai secara tidak langsung, hehehe. Mungkin ini juga motivasi saya untuk melepas pergi "Lucky Irene". Hari-hari saya saat pertengahan tahun ini disibukkan dengan program magang yang saya ikuti. Seru juga bertemu orang baru lagi. Senang dapat pengetahuan baru. Meskipun pasti ada sisi yang kurang berkenan tapi itulah proses belajar, kadang menyenangkan kadang tidak. Saat itu tepatnya tanggal 08 Juni 2010, saya diharuskan mengikuti program magang yang saya inginkan di Bank Indonesia. Saya sempat kaget juga, karena bersamaan dengan itu saya pun harus mulai masuk kursus lanjutan TOEFL di tempat Myles dan Mark berada, hahaha. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus saya jalani keduanya.
Awalnya lelah juga harus kerja rodi untuk membagi waktu antara selesai magang lalu langsung kursus. Tapi setelah dijalani, bisa juga ternyata, hehe. Hari pertama masuk kelas kursus itu, saya kaget. Hanya delapan siswa, sudah seperti semi privat. Haduh tidak bisa bebas berekspresi juga, karena tujuh orang perempuan dan seorang lelaki, dan hanya kami bertiga perempuan yang berasal dari kampus yang sama. Sedangkan yang lain berasal dari Institut yang terkenal dengan keseriusan mahasiswanya menjalin materi kuliah. Pertama kali masuk, saya langsung sadar keadaan kelas dengan lelaki yang hanya seorang. Lelaki yang ganteng, tapi terlihat serius sekali, hmmm hanya melihat ke buku dan guru saja. Tidak pernah terpikirkan untuk dapat kenal dengan orang yang kelihatannya seperti itu. Seperti keajaiban saja kalau bisa kenal, itulah yang saya pikirkan saat itu. Tapi lumayanlah ada pemandangan, hahahaha. Namun, siapa sangka tiba-tiba saya harus kenal dia, saya mendapat pembelajaran dari dia, sosok yang mirip sama saya.
Mungkin saat itu minggu kedua saya magang. Saya yang selalu pulang sore, memiliki dua pilihan. Pertama, jika damri cepat datang, saya akan sempat bersih-bersih dulu di kosan lalu berangkat kursus. Kedua, kalau keadaan pertama terjadi sebaliknya, mau tidak mau saya langsung pergi ketempat kursus. Waktu itu saya sudah berencana untuk menjalankan pilihan pertama, namun ternyata undangan makan sushi bersama lebih menggiurkan saya yang memang suka makan, hehe. Jadilah saya nekat untuk makan, padahal saya tidak bawa buku materi kursus saat itu. Masih bisa pinjam, pikir saya. Keasyikan makan sushi, ditambah insiden Ms. Kingkong, saya pun mengalami keterlambatan. Jadilah saya yang paling akhir masuk kelas. Malu dan kurang sopan bila harus melewati guru yang duduk di tengah, demi mencapai tempat duduk teman sekampus yang membawa buku, saya pun duduk di kursi terdekat. Dan baru sadar, ternyata saya duduk dekat dia. Hari itu hari perkenalan (karena gurunya ada dua), dan saat saya masuk, saat itu dia sedang memperkenalkan diri. Terpotong dengan kedatangan saya lalu saya pun langsung disuruh memperkenalkan diri (aduh tidak dikasih kesempatan bernapas dulu ya, tadi lumayan tergesa-gesa). Setelah selesai memperkenalkan diri, saatnya materi. Waduh, saya tidak bawa buku dan saya tidak mungkin lagi pindah tempat duduk. Jadilah dengan wajah tebal dan konyol, saya pun menanyakan apakah bukunya bisa dipakai bersamaan dengan saya? Untungnya dia dengan wajah selamat datang mengiyakannya dengan kata-kata yang selanjutnya lumayan tidak enak, yakni, berarti yang ini sama yang ini tolong dikerjain ya. Weits, asas manfaat, ckckckck.
Lalu setelah hampir selesai jam kursus, saya bertanya sama dia, namanya (jujur, paling susah menghapal nama). Namanya singkat, tiga hururf saja (syukur jadi gampang diingat). Lalu saat pulang, saya mengucapkan terima kasih atas bukunya, sembari menyenggol tangannya. Dia kelihatan kaget sekali (ekspresi yang berlebihan buat saya), dan langsung mengiyakan. Lalu yang buat saya kaget, dia menawarkan untuk mengantarkan pulang. Wah lumayan juga pikir saya (contoh orang tidak mau rugi, jangan ditiru kalau bisa, hehe), karena saya selalu pulang jalan kaki, sekalian berpikir buat olahraga juga. Selagi ada yang berbaik hati mengapa mesti ditolak, hehehe. Sepanjang perjalanan saya yang bingung harus berbicara apa, akhirnya hanya diam saja, mengucapkan terima kasih saat sampai depan jalan besar (saya tidak mau merepotkan dia yang bawa mobil untuk masuk ke dalam gang yang penuh pedagang makanan), dan turun. 
Dua hari berikutnya, saya tidak pulang bersama dia. Entah mengapa saya sedih, sampai besoknya saya menangis sambil makan sushi (hahaha yang ini sebenarnya salah satu kehebatan saya, yang tetap harus makan dalam keadaan apapun - malas kalau harus dirawat di rumah sakit lagi sebenarnya - hehehe). Minggu depannya saya pun berusaha bersikap biasa, meskipun saya duduk bersebelahan dengan dia, tanpa sengaja. Namun, entah mengapa saya susah menolak ajakan dia untuk mengantarkan saya pulang. Saya pun sempat berpikir, mengapa sama diri saya ini, saya merasa jadi orang lain. Mungkin pada dasarnya memang saya dan dia kurang memiliki kemampuan berkomunikasi lisan dengan baik atau mungkin memang sudah mulai ada udara yang berbeda saat itu diantara kami berdua, obrolan kami pun terasa kaku, hingga saya turun dan merasakan betapa bodohnya obrolan kami yang kedua itu, hahaha. Keesokan harinya, saya berusaha bersikap biasa, apalagi dia mengajak dua teman saya yang lain turut serta untuk diantarkan pulang. Baguslah, mereka yang ngobrol, saya duduk manis, hehe. Hari ketiga minggu ketiga, saya dikagetkan dengan dia yang membawa bulatan besar ke kelas. Bola? Bukan, ternyata helm. Wew, saya kaget. Kami yang seperti terprogram duduk sebelahan (saya memang suka telat atau suka terlalu cepat datang, dan dia terkadang melakukan hal yang sebaliknya saya lakukan itu), jadi terkadang merasa tidak enak dengan yang lain. Apalgi hari itu 23 Juni 2010, saya pertama kalinya diantar pulang dengan motornya. Sembari dijalan pulang, saya yang memang kelaparan mengoceh, mau makan dulu tidak? Dia kaget (lagi-lagi) sambil berkata, tadinya saya juga mau ngajak makan. Heh? Kaget juga saya, senang, kami punya pemikiran yang sama, tapi saya jadi diam, tidak tahu harus ngomong apa. Setelah mutar mencari tempat makan yang menurutnya enak saja, secara orang lapar yang penting makan, hehehe. Dapat juga memang, tempat langganan dia, tapi dia jadi keasyikan nonton Piala Dunia, hahaha, saya pun ingin bergegas pulang supaya bisa teriak sepuasnya. Saat makan itu, saya yang telepon selularnya sedang eror karena jatuh, memang ingin menguji apakah benar masih dapat berbunyi atau tidak, tanpa sadar meminjam telepon dia untuk sekedar misscalled ke nomor saya. Obrolan kami seperti sahabat yang kenal lama, karena saking banyaknya saya nanya tentang kehidupan dia (hanya kehidupan sehari-hari dan keluargnya melanjutkan obrolan yang kemarin-kemarin saja) dan dia menjawabnya, dia pun jadi tidak segan-segan membuka helmnya sepanjang jalan untuk ngobrol dengan saya. 
Malamnya saya mencoba sms dia (disinilah letak kesalahan saya pada awalnya, saya selalu mendatangi lebih dahulu), saya hanya mengucapkan terima kasih atas traktiran makan malamnya. Sms kami pun berlanjut soal Piala Dunia, masing-masing punya jagoan, hehehe. Meskipun akhirnya jagoan kami berdua kalah, tapi tetap Jerman yang pulang lebih dulu, hahahaha. Esok dan esoknya lagi saya tidak menolak diantarkan dia pulang. Mulut saya seperti terkunci dengan kepala saya yang menggangguk. Pernah suatu hari di minggu terakhir (kalau tidak salah ingat), saya memang mendengar banyak masalah di rumah, saya pulang saja kekosan, langsung berjalan kaki sambil mencari ketenangan. Tiba-tiba dia menyusul saya dengan motornya, saya pun lagi-lagi tidak kuasa menolak, akhirnya diantarkan pulang, tapi dengan saya yang sedang banyak masalah, saya tidak ingin sendirian, saya ingin makan. Akhirnya dia pun menemani saya makan sambil mendengar ocehan saya. Huhu, egoisnya saya yang menyita waktu belajarnya padahal dia katanya ada ujian besok. Maaf ya, kata saya selesai mengoceh, hehehe. Komunikasi kami hanya sebatas sms, itupun lebih banyak saya yang memulai, dan kemudian berlanjut ke om yahoo lalu tante facebook. Hanya beberapa kali dia sms duluan, itupun kalau saya tidak muncul dikelas.
Seperti saat adik saya datang untuk liburan. Saya yang sibuk dengan magang dan kursus jadi merasa bersalah juga kalau tidak sempat menemani dia. Saya pun berusaha paling tidak memenuhi pesanan oleh-oleh adik saya. Bonibo yang sudah tahu saya sedang dekat dengan seorang lelaki itu pun, mengatur strategi untuk saya bersama kedua teman saya. Mereka menyuruh saya untuk pergi bersama dengan lelaki itu membeli semua oleh-oleh yang diinginkan oleh adik saya. Jadilah saya dengan pasang wajah tebal, komunikasi yang membingungkan, diantar oleh lelaki itu untuk membeli oleh-oleh. Letak daerah yang cukup jauh, waktu dia pun tidak banyak, disibukkan oleh belajar dan bisnis, tapi dia masih mau mengantarkan saya ke Paris van Java hanya untuk membeli Yoghurt, lalu ke Cihampelas untuk membeli sale pisang (yang ternyata sudah tutup), hmmm baik sekali dia, itu yang saya pikirkan. Sepanjang jalan, lagi-lagi saya yang kebanyakan berkicau, saya jadi merasa dia robot. Mungkin topiknya tidak menarik, atau topik saya tidak dipahami, atau entahlah. Kejadian lucunya, saat pulang, kami sempat salah paham soal tempat dimana kami bertemu dengan adik juga kedua teman saya. Ada dua tempat dengan nama yang sama, tapi saya yang salah kaprah. Pada akhirnya bertemu, dan mereka berkenalan, ya mereka pun ingin tahu bagaimana rupa lelaki itu, dan yang membuat saya malu, saya dibilang "bego" sama adik sendiri depan dia. Saya pun balik berkata, bilang terima kasih sama dia. Hahaha, kocak, gila, Bonibo, Bonibo.
Esoknya pagi hari saya menemani adik saya ke Odjolali, membeli sale pisang rasa blueberry kesukaan kami semua (baca: saya, adik saya, keluarga di rumah, dan teman-teman adik saya) sebelum mengantarkan dia pulang memakai travel. Malamnya saat kursus, saya yang masih merasa tidak enak sudah merepotkan dia begitu banyak, hanya bisa memberikan sale pisang rasa blueberry, yang kata dia belum pernah dia makan, saat (lagi-lagi) diantarkan pulang. Saat sampai kosan, antara perasaan senang atau sedih, merasakan minggu depan adalah minggu terakhir, dimana dengan rutinitas yang saya punya, saya bisa bertemu dia. Seperti yang saya katakan sebelumnya, hari pertama minggu terkahir itu seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya di atas, saya ditemani makan olehnya. Saat pulang yang paling mengejutkan saya adalah tetangga depan kosan saya ada yang meninggal. Udara sekitar tidak enak jadinya, menimbulkan perasaan yang tidak enak, apalagi saat itu saya sendiri di kosan (yang lain entah kemana). Saya pun dengan kesuksesan mencapai ketidakseimbangan berpikir tingkat tinggi (selamat berpusing ria dengan membaca bahasa saya, hahaha), mengirimkan dia sms, yang pastinya tidak dibalas, yang membuat saya kesal. Untungnya masih ada teman sekitar yang mau membuka pintunya untuk saya, hehehe. 
Besoknya saya pulang ke rumah, mencoba mengetahui apa yang terjadi, dan berusaha menenangkan Emak saya yang sendirian menghadapi ini, karena Bapak sedang dinas di Nabire, Papua. Saya pun mendapat pencerahan, dan bersiap menghadapi hari esok (wedeh, lagi-lagi bahasa saya, hahaha). Hari itu saat saya di rumah, dia pun mengirimkan sms menanyakan kabar saya, dan apakah saya benar pulang ke Jakarta. Saya balas keesokan harinya, karena hari itu cukup melelahkan. Esok harinya, saya langsung ke Bandung, magang di tempat yang berbeda, saya baru ingat belum mengirimkan sms balasan, lalu saya kirim sms. Saat kursus dia mungkin kaget (hahaha) tiba-tiba saya sudah muncul kembali. Tapi sempat tidak ada acara pulang bersama, karena dia memiliki janji dengan klien bisnisnya. Padahal kalau boleh jujur, saya tidak ingin melewatkan kesempatan yang hanya sebentar lagi sama dia. 
Hari terakhir, saat dimana saya merasa harus mengajak dia makan bersama lagi, saya yang merasa akan jauh setelah ini, saya yang juga ingin mencoba sesuatu yang baru di Braga, namun keburu tutup, dan akhirnya memilih makanan orang putus asa, nasi goreng. Mengapa saya sebut demikian? Karena dimana-mana ada penjual nasi goreng, pagi, siang, dan malam, sudah seperti makanan wajib orang Indonesia. Obama saja memilih nasi goreng sebagai menu yang diinginkan saat kedatangan dia kemarin. Lihat, nasi gorang bisa kita jadikan ciri khas loh, hahahaha. Kembali, kembali. Saya yang hari itu hanya bisa diam sepanjang perjalanan, menikmati kemungkinan terakhir dibonceng sama dia. Saya yang seharusnya memakai baju yang berwarna maroon sepadan sama baju biru-maroon yang dia pakai juga tapi saya malah memakai baju ungu-kuning. Saya yang hari itu mengetahui rencana dia yang batal untuk mengajak saya dan dua teman saya bersuka ria. Campur aduk, senang atau sedih, tanpa bisa mengucapkan apa-apa. Saat melihatmu, mengenalmu, dan menjalani lima minggu denganmu, mungkin itu saat terbaik yang pernah diberikan Tuhan kepadaku (berlebihan? terserah saja, hahaha). Kurasa telah berakhir, ternyata tidak, karena sesungguhnya baru akan dimulai.
# Aku ingin jadi kita, kita ingin jadi kami, kami ingin jadi semua, semua ingin jadi satu, satu dalam Tuhan #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar